Friday, 27 April 2012

Perkembangan Terapi Penyakit Neurologis Tinjauan: Limfoma SSP Primer by Uwe Schlegel


Perkembangan Terapi Penyakit Neurologis
Tinjauan: Limfoma SSP Primer
Uwe Schlegel
Therapeutic Advances in Neurological Disorders 2009 2:93

Abstrak: Limfoma SSP Primer (Primary CNS Lymphoma – PCNSL) mewakili 3% dari seluruh tumor otak primer dengan usia median 62 tahun saat awitan penyakit. Pada sebagian besar kasus PCNSL merupakan ditemukan sebagai lesi menyangat unifokal atau multifokal pada MRI, yang seringkali berdekatan dengan ventrikel. Biopsi stereotaktik adalah prosedur diagnostik pilihan yang mengungkap limfoma sel-B non-Hodgkin malignan derajat tinggi pada lebih dari 90% kasus. Terapi untuk penyakit ini belum berbasis bukti. Jika memungkinkan, pasien-pasien wajib diikutsertakan pada uji klinis. Pada pasien-pasien berusia kurang dari 60 tahun, sasaran terapi adalah kesembuhan pasien. Plikemoterapi berbasis methotreksat (MTX) dosis tinggi atau alternatifnya berupa kemoterapi dosis tinggi dengan sel punca otology wajib ditawarkan kepada pasien-pasien yang sesuai untuk regimen tersebut. Untuk pasien-pasien berusia lebih dari 60 tahun, tidak terdapat regimen kuratif dengan toksisitas yang dapat diterima yang telah ditetapkan saat ini. Kemoterai berbasis MTC, contohnya, direkomendasikan untuk dikombinasikan dengan temozolomide. Peran radioterapi sebagai bagian terapi awal masih belum jelas; walaupun begitu, kombinasi radioterapi dengan  kemoterapi berbasis MTX berpotensi menyebabkan sekuelae nerotoksik berat jangka panjang. Oleh karena itu, radioterapi tidak direkomendasikan sebagai terapi awal oleh penulis selain untuk uji klinis. Saat relaps atau pada kasus-kasus penyakit refrakter, pasien-pasien seringkali mendapatkan keuntungan dari terapi penyelamatan, yang bergantung pada terapi awal yanf diterima.
Kata kunci: Limfoma SSP, tumor otak, limfoma non-Hodgkin, methrotrexate, temozolomide

Pendahuluan
Terapi limfoma SSP primer (PCNSL) telah meningkat secara substansial dalam dua dekade terakhir dengan diimplementasikannyan kemoterapi berbasis methotreksat (MTX) sistemik dosis tinggi, sehingga sebagian pasien dalam jumlah substansial bahkan dapat disembuhkan dari penyakit ini. Dalam tinjauan ini, perkembangan terbaru akan disorotkan dengan fokus khusus kepada pendekatan kemoterapeutik dan eksperimental.

Epidemiologi
Insidens PCNSL telah meningkat signifikan pada individu imunokompromais maupun imunokompeten, dan mewakili 3% dari seluruh tumor intrakranial. Penyakit ini telah menjadi tumor otak yang paling sering ditemukan pada pasien AIDS; akan tetapi, diperkenalkannya terapi antiretroviral yang sangat aktif (Highly active antiretroviral therapy – HAART) telah menurunkan angka kejadian seluruh limfoma non-Hodgkin (NHL) dengan dramatis, termasuk limfoma otak primer dan sekunder. PCNSL dapat menyerang seluruh kelompok usia dengan puncak insidens pada dekade kelima hingga ketujuh pada pasien non-AIDS.
Tampilan Klinis dan Pencitraan
Sebagian besar PCNSL memiliki tampilan sebagai massa otak supratentorial difus dan multifokal. Sebagai ciri khas PCNSL, keterlibatan vitreus, retina, dan saraf oprik dapat ditemukan pada sekitar 10-15% pasien saat muncul gejala. Infilfrasi limfomatosa pada permukaan leptomeninges atau epidermal serta invasi pleksus atau radikuler dapat juga terjadi. Dengan menggunakan pengelompokkan sistemik, limfoma sistemik tersembunyi dapat dieteksi pada hingga 8% pasien yang pada awalnya menunjukkan limfoma otak. Oleh karena itu, direkomendasikan untuk melakukan biopsy sumsum tulang CT Scan dada dan abdomen, USG testis, dan pemeriksaan fisik yang cermat untuk mendeteksi limfoma sistemik tersebunyi. Pada sebuah seri monosentrik, PET seluruh tubu dengan menggunakan 18F-fluorodeoksiglukosa (FDG) telah ditunjukkan menyingkap adanya NHL sistemik pada 7% saat terjadinya limfoma yang terutama mengenai SSP dan 27% saat relaps; walaupun begitu, peran diagnostik umumnya belum jelas hingga saat ini. Evaluasi diagnostik rutin pada suspek PCNSL terdiri dari pemeriksaan oftalmologi termasuk pemeriksaan lampu celah, analisis CSF (lihat di bawah), serologi HIV, dan kadar laktat dehidrogenase (LDH) serum. Gejala klinis PCNSL terdiri dari gangguan kognitif, perlambatan psikomotor, perubahan kepribadian, dan disorientasi pada sebagian besar pasien/ Peningkatan tekanan intrakraial dan gejala fokal yang ditunjukkan oleh sekitar 50% pasien. Sementara itu, disfungsi batang otak, tanda-tanda serebellar, dan disfungsi saraf kranial serta bangkitan hanya muncul pada sebagian kecil pasien. Pencitraan dengan resonansi magnetik (MRI) adalah prosedur radiologis yang paling sensitif: tumor seluler padat terlihat sebagai lesi tunggal (65%) atau multipel pada gambar tanpa penyangat T1-weighted (gambar 1), tumor hiperintens dan edema pada gambaran T2 dan FLAIR dan massa yang sangat menyangat setelah pemberian gadolinium. Lima puluh persen lesi atau lebih berkontak dengan meninges, dan penyangatan meningeal terlihat pada 10-20% pasien.

Diagnosis dan Patologi
Biopsi stereotaktik adalah prosedur diagnostik pilihan dan dapat dilakukan pada target massa yang telah didiagnosis melalui CT atau MRI. Glukokortikoid wajib ditunda jika memungkinkan, karena lesi yang diterapi dapat menghilang dalam beberapa hari dan dapat menyebabkan biopsi “nondiagnostik”. Walaupun begitu, analisis retrospektif terbaru pada kasus-kasus yang akhirnya dikonfirmasi sebagai PCNSL telah menunjukkan bahwa pada kasus-kasus tersebut, hasil biopsi berulang untuk prosedur nondiagnostik pertama jarang terlepas dari terapi steroid sebelumnya (12%) atau tidak ada terapi (13%) dan bahwa regresi menyeluruh dari seluruh lesi yang sedang diterapi dengan steroid jarang ditemukan. Respons terhadap steroid tidak memiliki nilai diagnostik untuk PCNSL, karena banyak tipe infiltrat otak meningkat dengan terapi steroid – contohnya, sarkoidosis, plak sklerosis multipel (MS) dan bahkan lesi infeksius. Pada sebuah seri prospektif yang mengevaluasi 116 spesimen cairan spinal, temuan patologis pada lebih dari lima puluh persen kasus yang dianalisis, serta sitomorfologi CSF menemukan hasil positif untuk sel-sel limfoma pada 18% kasus. Penelitian imuohistokimia pada sel-sel CSF dengan menggunakan antibodi terhadap limfosit (LCA) atau sel B (CD20) tidak spesifik untuk mendiagnosis proliferasi klonal pada CSF. Deteksi monoklonalitas sel B dengan menggunakan amplifikasi PCR untuk pengaturan gen rantai berat imunoglobulin dapat dilakukan pada laboratorium khusus, namun ternata kurang sensitif dibandingkan sitomorfologi pada penelitian prospektif pada 282 pasien PCNSL. Oleh karena itu, teknik-teknik tersebut tidak ditetapkan sebagai diagnostik rutin.

Berdasarkan klasifikasi Badan Kesehatan Dunia (WHO), mayoritas PCNSL diklasifikasikan sebagai limfoma sel B berukuran besar yang difus (diifuse, large B-cell lymphomas- DLBCL). Lebih dari 95% PCNSL berkorespondensi dengan limfoma selB non-Hodgkin dibuktikan dengan ekspresi penanda sel B CD19, CD20, CD79a. Aktivitas mitosis biasanya tinggi dan dapat terjadi nekrosis. Sebagian besar PCNSL berasal dari sel B pusat germinal (Germinal Center –GC): sel-sel tersebut memiliki ekspresi gen bd-6 yang berlebihan dan aktivitas mutasi yang sedang berlangsung dan menunjukkan fenotip yang mirip dengan sel B: PCNSL menunjukkan perubahan molekuler yang khas untuk sel B mirip GC (GCB) dan untuk DLBCL sel B mirip ABC . LImfoma sel T primer pada SSP mewakili 4% dari seluruh PCNSL; dalam hal prognosis dan repons terapi, tidak ada perbedaan jelas. Pada kurang dari 5% kasus, PCNSL derajat rendah (yang berasal dari sel B atau sel T) ditemukan. Sel-sel tersebut dapat menunjukkan perjalanan penyakit yang lebi indolen, yang seringkali menunjukkan bangkitan dan menunjukkan fitur radiologis seperti penyangatan yang kurang intens atau heterogen.

Terapi
Pembedahan

Peran pembedahan hanya terbatas pada biopsi stereotaktik pada lesi yang diduga sebagai PCNSL untuk mendapatkan materi pada diagnosis histopatologis. Setiap usaha untuk mereseksi lesi yang berinfiltrasi difus ini telah dikontraindikasikan. Pengangkatan secara bedah sebagai bagian terapi multimodal telah ditunjukkan berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk.

Radioterapi
Radioterapi merupakan terapi wajib selama bertahun-tahun hingga awal 1990. Satu-satunya penelitian prospektif fase II untuk iradiasi otak pada pasien HIV-negatif dengan PCNSL mengevaluasi 41 pasien yang mendapatkan radioterapi seluruh otak dengan kekuatan 40 Gy (WBRT) plus tumor boost sebesar 20 Gy, setiap dosis diberikan dalam fraksi 1.8 Gy. Median harapan hidup seluruh kelompok tersebut adalah 12.2 bulan setelah diagnosis dan 7.6 bulan untuk pasien-pasien berusia di atas 60 tahun.   Empat dari 41 pasien (10%) meninggal saat diberikannya terapi. Pada uji klinis ini, 28 pasien mengalami limfoma berulang dari 22 pasien yang berada dalam boost fields. Pada analisis retrospektif pada pasien-pasien yang diterapi dengan radioterapi saja pada tahun 1990-an, harapan hidup seluruh kelompok (dengan median 63 tahun) adalah 18 bulan dan fraksi kelangsungan hidup pasien adalah 18%. Oleh karena itu, terlepas dari kurangnya rekomendasi berbasis bukti, konsensus yag umum diakui saat ini menetapkkan bahwa iradiasi otak saja tidak cukup untuk menyediakan remisi yang tahan lama atau kesembuhan PCNSL.

Kemoterapi
Untuk menilai peran kemoterapi, analisis retrospektif pada 370 pasien yang diterapi untuk PCNSL dengan terapi yang berbeda-beda telah mennnjukkan hasil terapi yang secara signifikan lebih baik untuk pasien-pasien yang diterapi dengan kemoterapi dan radioterapi dibandingkan dengan radioterapi saja, jika kemoterapi memasukkan MTX intravena dosis tinggi. MTX dosis yang cukup tinggi dapat mencapai level terapeutik di plasma, CSF, dan parenkim otak dan mata setelah administrasi parenteral, perlu diberikan melebihi 1 g/m2 secara intravena; walaupun begitu, dosis optimal atau jadwal dosis tidak didefinisikan.

Dua uji multisentris telah mengevaluasi MTX saja untuk PCNSL: pada penelitian fase II di Jerman, MTX diberikan dengan dosis 8g/m2 sebagai infus selama 4 jam setiap 14 hari selama enam siklus; walaupun begitu, penelitian tersebut diterminasi setelah mengikutsertakan 37 dari 105 pasien yang diproyeksikan, karena angka respons keseluruhan hanya 35%. Bahkan dengan aplikasi WBRT keselamatan pada 20 dari 37 pasien baik untuk penyakit progresif (PD) atau untuk relaps, median harapan hidup tidak melebihi 25 bulan. Protokol yang sama pada uji multisentris dengan intervensi tunggal, mencapai angka respons keseluruhan sebesar 74% (52% respons lengkap, 22% respons parsial); Akan tetapi, median angka harapan bebas progresi  hanyalah 12.8 bulan dan angka harapan hidup keseluruhan untuk 55 bulan merupakan hasil dari terapi penyelamatan yang efisien dari progresi atau relaps. Kemoterapi kombinasi mungkin lebih efisien dibandingkan MTX dosis tinggi saja; sebuah analisis retrospektif telah mengidentifikasikan inklusi dari dosis tinggi sitarabin (ara-C) dalam protokol berbasis MTX sebagai prediktor prognosis positif yang independen. [Ferreri et al.2002]. Polikemoterapi sebagai terapi tunggal telah divaluasi pada dua fase (I)/II penelitian multisentris prospektif. Pada fase I/II percobaan multi-obat [Pels et al. 2003a], 65 pasien diterapi dengan enam siklus kemoterapi berdasarkan pada MTX dosis tinggi, dosis tinggi ara-C, vinka-alkaloid dan agen alkilasi sebagai kombinasi dengan MTX intraventrikular, prednisolon dan ara-C. Dicapai tingkat respons komplit sebesar 61% dan respons parsial sebesar 10%; telah dilaporkan 9% kematian yang terkait dengan terapi. Median angka harapan bebas relaps adalah 21 bulan dan median keseluruhan harapan hidup adalah 50 bulan. Hasil cukup menjanjikan terlihat pada 30 orang pasien berusia dibawah 60 tahun yang ikut serta dalam penelitian ini. Pada pasien- pasien ini median harapan hidup bebas progresi atau median keseluruhan harapan hidup telah dicapai setelah median follow up selama 26 bulan; fraksi harapan hidup dalam 5 tahun adalah 75% [Pels et al. 2003a].  Pada pasien berusia diatas 60 tahun, keseluruhan harapan hidup adalah 34 bulan. Akan tetapi, protokol ini menghasilkan tingkat respons keseluruhan hanya 56% pada pasien usia diatas 60 tahun dan dihubungkan dengan 12% kematian karena toksik pada kelompok usia. Pada penelitian EORTC, 52 pasien berusia 60 tahun atau lebih (usia median 72 tahun, skor median Karnofsky 50) diterapi dengan MTX sebesar 1 g/m2 melalui infus pada hari ke 1,10 dan 20, digabungkan dengan lomustine 40 mg/m2 pada hari ke-1, procarbazine 60 mg/m2 hari ke 1-7, metilprednisolon dua hari sekali sebesar 120 g/m2 pada hari ke 1-20 dan 60 mg/m2 pada hari ke 20-45, MTX intratekal 15 mg dan ara-C 40 mg pada hari ke 1,5,10 dan 15. Pada kasus respons komplit atau parsial yang didokumentasikan oleh MRI atau CT, setelah siklus pertama, lima siklus berikutnya (terapi rumatan) diberikan setiap 6 minggu dengan hanya satu infus MTX dan hanya satu MTX intratekal dan pemberian ara-C pada hari  pertama pada setiap siklus. Tingkat respons keseluruhan adalah 48%, angka median harapa hidup keseluruhan adalah 14,3 bulan dan fraksi harapan hidup 1 tahun bebas progresi berusia lebih 60 tahun, MTX 3 g/m2 pada hari ke-1, 10, dan 20 dikombinasikan dengan temozolomide 100 mg/m2 pada hari ke 1-5; pada pasien dengan respons komplit atau parsial atas kemoterapi induksi tersebut (17 dari 20 pasien yang dapat dievaluasi) terapi rumatan diberikan dengan MTX 3g/m2 dan temozolomide 100mg/m2 pada hari ke 1 hingga 5 setiap bulan hingga lima kali. Median harapan hidup bebas kejadian adalah 8 bulan pada penelitian tersebut dan keseluruhan harapan hidup adalah 35 tahun, lebih baik dibandingkan dengan regimen yang lebih sulit.

Kemoterapi intratekal. Peranan kemoterapi intratekal/intraventrikular pada PCNSL masih belum jelas. MTX, ara-C dan steroid telah diberikan melalui rute lumbar atau ventrikular (melalui reservoa subgaleal) sebagai bagian dari regimen kemoterapi sistemik : MTX 12 mg dua kali seminggu diberikan melalui jalur lumbar pada dua penelitian [Poortmans et al. 2003; DeAngelis et al. 2002], tetapi aplikasi intraventrikluar memberikan dosis harian yang lebih rendah untuk mencapai kadar CSF terus menerus[Pels et al. 2003b]. Secara umum kadar ini sering melampaui konsentrasi 100 µM.  tanpa melihat polikemoterapi sistemik yang tidak berubah dibandingkan dengan protokol aslinya, tetapi menghilangkan terapi intraventrikular, sebuah penelitian berikutnya pada pasien berusia <60 tahun memiliki hasil yang sangat buruk, yang pada keadaan tersebut protokol polikemoterapi dengan kemoterapi intraventrikular tampaknya sangat diperlukan. Keuntungan dari pemberian obat CSF telah dipertimbangkan, mengingat risikonya berupa ventrikulitis iatrogenik, masalah akibat akses berulang terhadap CSF, dan efek leukoensefalopati dari obat yang terlokulasi dalam neuraxis. Pada penelitian kasus-kontrol retrospektif berskala kecil, tidak ada perbedaan dalam angka harapan hidup, kontrol penyakit atau neurotoksisitas dapat ditemukan diantara resipien dan bukan resipien dari terapi intratekal, dan analisis retrospektif dari faktor prognosis untuk 370 PCNSL tidak menemukan adanya pengaruh dari terapi intratekal pada keluaran. Walaupun begitu, sebagian kecil pasien yang menerima kemoterapi intratekal tidak diterapi dengan kemoterapi radisi seluruh otak (WBRT), yang merupakan sebuah terapi efisien untuk kompartemen CSF. Oleh karena itu, dampak yang mungkin terjadi akibat kemoterapi intratekal dapat dirancukan oleh keadaan ini. Profilaksis intratekal atau kemoterapi intraventrikular harus dipertimbangkan untuk diteliti.


Kemoterapi dosis tinggi Myeloblatif. Jenis terapi ini memungkinkan pencapaian obat dengan kadar terapi di otak, CSF dan di seluruh neuraxis. Sel punca otolog diberikan untuk menyelamatkan pasien dari leukopenia terinduksi obat dan trombositopenia. Terapi telah diberikan pada PCNSL rekuren atau yang baru terdiagnosis. MTX dan/atau ara-C digunakan untuk ‘Terapi induksi’ untuk mendapatkan remisi, dilanjutkan dengan regimen berbasis tiotepa atau ara-C, melphalan, karmustin dan etoposide. Walaupun terapi kedua memberikan hasil yang mengecewakan, kombinasi kemoterapi dosis tinggi dengan WBRT (50 Gy setelah respons parsial dan 45 Gy setelah respons komplit pada kemoterapi, secara berurutan) pada percobaan fase II untuk pasien diatas 65 tahun menghasilkan fraksi harapan hidup selama 5 tahun sebesar 69% pada analisis intent-to-treat. Percobaan monosentris pertama dengan menggunakan regimen intensif berdasarkan protokol namun tanpa menggunakan radioterapi meberikan hasil awal yang menjanjikan, dan saat ini menjadi subyek pada percobaan label terbuka, single-arm, multisentris fase II. Walaupun begitu, pendekatan ini harus mempertimbangkan eksperimen sebagai terapi utama. Tingkat respons dan harapan hidup bebas kejadian pada PCNSL yang baru terdiagnosis tidak lebih baik dengan penggunaan terapi konvensional, kematian karena toksisitas obat atau progresi tumor dilaporkan pada pasien berusia diatas 60 tahun, dan follow up yang lebih lama dari yang disebutkan pada percobaan menunjukkan adanya munculnya relaps di kemudian hari.

Pada relaps PCNSL, kemoterapi dosis tinggi dengan transplantasi stem sel autologus memberikan opsi yang baik pada individu yang lebih muda. Kombinasi kemoterapi dan radioterapi sistemik MTX  ‘dosis-tinggi’ telah dimasukkan ke dalam hampir semua kombinasi protokol kemo-dan radioterapi yang dievaluasi pada penelitian fase I/II. Tiga penelitian prospektif multisentris besar fase II telah mengkombinasikan kemoterapi berbasis MTX dengan WBRT: dalam kelompok radiasi onkologi Trans-Tasman sebuah protokol telah diberikan pada 46 pasien (median usia 58 tahun, range usia 25-76) yang terdiri dari dua siklus dari MTX 1 g/m2 melalui infus selama 6 jam pada hari ke 1 dan 8 diikuti oleh WBRT 45 Gy dan 5,4 Gy tumor boost diberikan sebesar fraksi 1,8 Gy dimulai pada hari ke 15. Hanya terdapat satu kematian akibat keracunan, dan 45 pasien melanjutkan ke radioterapi. Pada 39 pasien yang dapat dinilai, tingkat respons komplit adalah 82% dan tingkat respons parsial adalah 13%. Median keseluruhan harapan hidup adalah 33 bulan dan kemungkinan harapan hidup dalam 2 tahun adalah 62%. Protokol yang lebih kompleks telah digunakan oleh kelompok onkologi terapi radiasi dan oleh EORTC Eropa (Penelitian, 20962). Pada penelitian yang terakhir MTX 3g/m2 (hari 1,15) dikombinasikan dengan metilprednisolon 60 mg/m2 (hari 1-5), teniposide 100 mg/m2 (hari 2,3) dan karmustine 100 mg/m2  (hari ke 4) dan dengan MTX intratekal 15 mg, ara-C 40 mg dan hidrokortison 25 mg (hari 1,15) diikuti dengan radioterapi otak dengan dosis total 40 Gy pada fraksi 1,5-1,8 Gy. Dua puluh lima pasien dengan usia diatas 65 tahun diikutsertakan; satu meninggal sebelum penelitian, dan lima meninggal selama terapi. Pada kelompok intent-to-treat, 69% memiliki respons komplit dan 12% respons parsial. Median estimasi keseluruhan harapan hidup adalah 46 bulan; estimasi angka harapan hidup dalam 2 tahun adalah 69%. Mempertimbangkan bahwa hanya pasien berusia diatas 65 tahun yang diikutkan dalam penelitian EORTC ini, data penelitian tersebut tidak lebih baik daripada penelitian trans-tasman.

Pada penelitian RTOG 93-10 [DeAngelis et al.2002] 102 pasien dengan usia median 56,5 tahun menerima MTX sistemik 2,5 g/m2, vinkristine 1,4 mg/m2 dan prokarbazin 100 mg/m2/hari pada minggu 1,3,5,7 dan 9 dan selingan dengan intraventrikular MTX 12 mg sekali pada minggu 2,4,6,8 dan 10, diikuti oleh WBRT dari mingguke- 11 hingga minggu ke-15 dengan 45 Gy atau-  sebagai bukti  neurotoksisitas permanen dari regimen ini- hanya 36 Gy pada kasus dengan respons komplit setelah kemoterapi untuk 16 pasien yang bertambah pada setengah waktu penelitian. Radioterapi diikuti oleh ara-C sistemik 3 g/m2 hari ke 1 dan 2 pada minggu ke 16 dan 19. Tidak ada terapi yang menyebabkan kematian yang dilaporkan; akan tetapi, empat pasien dieksklusikan dari analisis. Dari sisa sebanyak 98 pasien, 82 melanjutkan radioterapi dan 50 di antara pasien-pasien tersebut dinilai respons terapinya dengan 58% memiliki respons komplit, dan 36% respons parsial dan 6% gagal terapi. Median keseluruhan harapan hidup adalah 37 bulan dan fraksi harapan hidup selama 2 tahun 64%. Penggunaan radioterapi sebagai bagian dari terapi awal masih diperdebatkan, perannya saat ini masih diselidiki dalam percobaan multisentris fase IV di Jerman (Kelompok penelitian 1 penelitian PCNSL Jerman) dibandingkan dengan WBRT segera (30x1,5 Gy) setelah remisi komplit (CR) hingga MTX (4g/m2) siklus ke-enam dibandingkan dengan radioterapi yang ditangguhkan pada relaps setelah CR.

Imunoterapi. Karena 90% kasus PCNSL menunjukkan malignansi sel B NHL tingkat lanjut s, sel-sel tumor tersebut mengekspresikan antigen CD20. Terapi dengan antibodi anti-CD20 rituximab efektif pada sel B NHL dan beberapa laporan, akan terapi rituximab telah dipublikasikan sebagai terapi PCNSL refrakter. Rituximab sangatlah jelas mampu membersihkan CSF dari sel-sel tumor yang berpencar-pencar jika diberikan secara intraventrikular; akan tetapi, efeknya untuk mengontrol lesi parenkim setelah pemberian intravena atau intraventrikular hanya telah didemonstrasikan pada satu buah kasus saja. Sebagai bagian dari protokol multimodal yang membandingkan MTX sistemik, vinkristine dan prokarbazine, rituximab telah diberikan pada dosis sistemik 500 mg/m2 setiap siklus selama lima hingga tujuh siklus, diikuti oleh WBRT dan dua siklus berurutan dengan menggunakan ara-C sistemik pada percobaan multisentris prospektif; WBRT merupakan profilaksis pada kekuatan 23,4 Gy untuk kasus-kasus yang menunjukkan respons komplit setelah lima hingga tujuh siklus imunokemoterapi dan ‘standar’ dengan 45 Gy pada semua kasus lainnya. Regimen ini ditoleransi dengan baik, dan angka harapan dua tahun bebas progresinya adalah 57%, sementara angka harapan hidup keseluruhannya adalah 67%. Sangat sulit untuk menilai dampak terapi rituximab dalam regimen multimodal ini pada penelitian single-arm. Ini adalah catatan, bahwa pada penilitian tersebut, level rituximab dalam CSF tidak melebihi 4,4% dari kadar serumnya pada titik waktu yang diukur. Memasukkan rituximab pada konsep terapi untuk melawan PCNSL mungkin memiliki alasan rasional lainnya; hal ini telah menunjukkan bahwa pada lebih dari 27% relaps PCNSL, NHL sistemik dapat terdeteksil pada 24% kasus lain dari PCNSL pasien yang menunjukkan penyakit di luar SSP dan pada penelitian serupa, sel NHL tersembunyi pada sampel darah perifer telah dideteksi dengan amplifikasi PCR gen klonal ulang rantai imunoglobulin berat (IgH) pada setidaknya 2 dari 24 pasien PCNSL yang sedang berada dalam remisi penuh dari penyakit SSP pada saat analisis. Karena metode ini yang agak sensitif, jumlah sebenarnya pasien yang memiliki NHL tersembunyi, yaitu sel-sel yang menunjukkan tropisme pada pembuluh darah SSP, mungkin lebih rendah dibandingkan jumlah aslinya.

Oleh karena itu, pemberian rituximab sistemik mungkin bersifat toksik untuk penyakit sistemik yang tersembunyi. Dua seri kasus dari pasien dengan relaps refrakter atau relaps PCNSl telah menunjukkan bahwa aplikasi dari radiokonjungasi seperti antibodi CD 20 [90Y] ibritumomab (Zevalin) dan [131I] tositumomab (Bexxar) lebih layak dan menghasilkan respons pada kasus tunggal. Akan tetapi, peran masa depan dari antibodi radiokonjungasi CD20 pada PCNSL perlu lebih diteliti dengan jelas.

Neurotoksisitas Lanjutan terkait Terapi
 Kerugian jangka panjang karena neurotoksisitas terkait terapi setelah kombinasi kemoterapi dan radioterapi telah dilaporkan pada analisis pada satu pusat kesehatan pada tahun 1998. Setelah bertahan selama 4 tahun tanpa tumor, 100% dari pasien berusia 60 tahun atau lebih menunjukkan adanya disfungsi kognitif. Individu yang lebih muda lebih sedikit terserang dan mengalami komplikasi yang lebih lambat. Pasien yang terserang gangguan tersebut menunjukkan adanya leukoensefalopati dan atrofi kortika/subkortika, yang dapat menyebabkan demensia, ataksia, inkontinensia dan ketergantungan terhadap perawat. Penyelidikan patologi pada otak pasien dengan neurotoksisitas yang telah meninggal menunjukkan tidak adanya sel tumor, tetapi terdapat hilangnya mielin dan akson, gliosis, spongiosis dan penghalusan dari substansia grasia. Pada analisis retrospektif pada 183 pasien yang diterapi untuk mengobati PCNSL pada sebuah pusat kesehatan, untuk melihat perkembangan dari neurotoksisitas akibat terapi jangka panjang, satu-satunya faktor risiko yang tercatat hanyalah radioterapi. Temuan ini didukung oleh tinjauan literatur terbaru yang mengusulkan bahwa pasien dengan PCNSL yang telah diterapi dengan kemoterapi saja memiliki risiko yang lebih rendah untuk mengalami neurotoksisitas lanjutan.

Oleh karena itu, pasien PCNSL direkomendasikan untuk menjalani pemeriksaan neurofisiologi formal pada penelitian terapi prospektif. Pedoman untuk pemeriksaan tersebut telah dipublikasikan. Dengan mempertimbangkan risiko jangka panjang untuk  terjadinya neurotoksisitas akibat radioterapi ‘konsolidasi’ setelah respons komplit terhadap kemoterapi, sebuah analisis retrospektif pada sebuah pusat kesehatan pada 122 pasien dilakukan untuk menilai masalah ini. Tidak ada perbedaan pada angka harapan hidup keseluruhan yang ditemukan antara pasien relaps yang sebelumnya merupakan responder komplit yang menerima kemoterapi berbasis MTX dan menerima radioterapi ‘konsolidasi’ seluruh otak dengan mereka yang radioterapinya ditangguhkan. Oleh karena itu, untuk menghindari neurotoksisitas, telah ditetapkan untuk menangguhkan radioterapi setelah respons komplit kepada kemoterapi untuk menyelamatkan pasien pada saat terjadi relaps.

Situasi spesifik
Dampak pada usia
Prognosis dan respons terhadap terapi pada pasien berusia 60 tahun atau lebih secara signifikan lebih buruk terlepas dari modalitas terapi yang digunakan. Telah diusulkan pula bahwa, tidak sesuai dengan skor Karnofsky, pasien dengan usia yang lebih muda dari 50 tahun mendapatkan hasil terapi lebih baik daripada yang berusia lebih tua. Walaupun begitu, usia median pada pasien PCNSL berusia lebih dari 60 tahun dan ‘situasi terapi spesifik’ telah dipertimbangkan untuk sebagian besar pasien, karena individu yang lebih tua sering memiliki komorbiditas, kurang dapat mentoleransi terapi dan mempunyai risiko tinggi terjadinya neurotoksisitas. Oleh karena itu, harus dilakukan usaha spesifik utuk mencegah terjadinya hal tersebut.  Dosis MTX disesuaikan dengan laju filtrasi glomelurus.
Pada 89 pasien berusia lebih dari 60 tahun yang diterapi pada penelitian yang dilakukan di Jerman, MTX  sebanyak 4 g/m2 diberikan sebagai infus dalam 4 jam setiap 2 minggu maksimal selama enam siklus, bersamaan dengan deksametason 3x8 mg selama  10 hari pada siklus pertama. Sebelum dimulainya tiap siklus, klirens kreatinin diukur dan dosis MTX diturunkan berdasarkan nilai klirens kreatinin dari 80 ml/menit dan seterusnya; sebagai contoh, dosis diturunkan 20% untuk klirens kreatinin 80ml/menit dan 40% untuk 60 ml/menit. Nilai klirens kreatinin kurang dari 50 ml/menit merupakan kriteria eksklusi untuk MTX dosis tinggi. Penurunan dosis diperlukan pada 44% pasien yang berusia lebih dari 60 tahun, dan penghentian dari terapi karena nefrotoksisitas hanya terjadi pada 3% pasien. Toksisitas keseluruhan, berdasarkan skor WHO nilai lebih dari 2, muncul pada kurang dari 10% pasien; hasil terapi tidak diberikan. Dengan melihat data ini bersama-sama, telah direkomendasikan untuk mengobati pasien berusia lanjut dengan regimen berbasis MTX dosis tinggi; sebagai contoh, 4 g/m2 selama enam siklus (disesuaikan dengan laju filtrasi glomelurus) digunakan kombinasi dengan deksametason 3x8 mg selama 10 hari selama siklus pertama, karena hal ini telah sebelumnya dilaporkan memadai. Selingan MTX 3g/m2 pada hari 1, 10 dan 20 dapat dikombinasikan dengan temozolomide100mg/m2 pada hari 1-5 dengan terapi rumatan (MTX3 g/m2 dan temozolomide 100mg/m2 pada hari 1–5) setiap bulan hingga lima kali pada pasien yang memberikan respons. Menurut hasil yang telah dipublikasikan dari penelitian-penelitian lainnya, tingkat respons kurang dari 60% diantisipasikan dan terapi penyelamatan harus diinsiasikan pada pasien refrater. 


Pasien HIV positif dan limfoproliferasi paska transplantasi (PTLD)
Sebelum adanya era HAART, pasien infeksi HIV dengan PCNSL biasanya memiliki prognosis yang buruk: 1/3 dari mereka meninggal ketika menerima radiasi untuk limfoma otak. Situasi ini telah meningkat secara pesat: pertama, insidensi PCNSL telah menurun secara dramatis dengan adanya HAART; dan kedua, pasien AIDS yang diterapi dengan HAART bersamaan dan kemoterapi untuk NHL lebih mudah memberikan respons kepada kemoterapi karena HAART menginduksi reduksi dari viral load HIV.

Pada analisis retrospektif multisentris, pasien dengan PCNSL dan AIDS menunjukkan hal terapi yang baik ketika diterapi dengan radiasi kranial dan HAART (median harapan hidup, 1093 hari). Angka harapan hidup keseluruhan adalah 132 hari setelah radiasi kranial saja dan 33 hari tanpa adanya terapi spesifik.  Pasien AIDS-PCNSL tertentu mungkin merupakan kandidat untuk kemo atau kemo/radioterapi agresif jika : (1) status performa mereka memiliki KPI lebih dari 50; (2) hitung sel CD4+ diatas 200/ml; (3) komorbiditas AIDS terbatas dan bukan neurologik. Untuk penyakit yang berat, kenyamanan dan perhatian hanya merupakan satu-satunya opsi terapi.  Pasien non AIDS PTLD cenderung mempunyai PCNSL yang diinduksi oleh EBV(Epstein-Barr Virus) dan menunjukkan peningkatan jumlah EBV pada CSF. Biasanya yang dapat didemonstrasikan adalah reaktivasi dari EBV laten atau serokonversi yang baru didapat. PCNSL yang muncul tidak dapat dibedakan dengan mudah dengan EBV atau komplikasi infeksi dari transplantasi, walaupun PCNSL mungkin disertai dengan invasi limfoma dari organ yang ditransplantasi. Terapi ini berdasarkan pada reduksi atau diskontinuasi dari imunosupresi karena steroid dosis rendah yang digunakan bersama dengan kemoterapi.

Limfoma intraokuler
Sekitar 10-20% pasien PCNSL menujukkan adanya keterlibatan okuler pada presentasi klinis atau selama pengobatan dari penyakit: uveitis limfomatossa, infiltrasi saraf optik dan/atau. Vitreus. Keterlibatan intraokuler mungkin muncul sebagai situs relaps yang terisolasi setelah terapi PCNSL yang sukses atau sebagai kombinasi dengan relaps SSP. Terapi dengan kemoterapi berbasis MTX dosis tinggi, dengan ifosfamida atau dengan trofosfamida oral lebih efisien dan sering menghasilkan CR atau PR. Radiasi bagian 2/3 posterior bilik mata dengan 30-45 Gy juga diberikan secara berselang; akan tetapi, hal ini sering dipersulit dengan kemunculan katarak dan kontrol yang tidak pasti untuk kerusakan nervus optikus dan keterlibatan otak karena tumor. MTX intraokuler dengan dosis 400 mg sebanyak 0,1 ml ditanamkan kedalam viterous akan berhasil kadar sitotoksis obat dan dapat menyebabkan pembersihan tumor okuler, tetapi hal ini dipersulit dengan angka kejadian katarak 73%, 58% epiteliopati kornea, 42% makulopati dan komplikasi serius lainnya. Oleh karena itu, modalitas ini dianggap sebagai sebuah eksperimen. Telah direkomendasikan untuk mengobati keterlibatan okuler pada kemunculan PCNSL dengan kemoterapi berbasis MTX dosis tinggi saja dan pada kasus dari relaps okuler terisolasi dengan oral trofosfamida atau intravena ifosfamida. Radioterapi okuler harus disimpan pada kasus-kasus refrakter. Telah dicatat bahwa pasien yang diterapi untuk limfoma intraokuler dengan kemoterapi sistemik mengalami relaps SSP yang lebih jarang daripada pasien yang diterapi dengan terapi lokal.
Terapi pada pasien refrakter dan pada saat relaps
Terapi optimal untuk tumor rekuren belum ditetapkan hingga saat ini, tetapi resistensi obat jarang didokumentasikan dan hampir semua pasien merasakan manfaat dari induksi ulang dengan agen kemoterapi. Pasien dengan limfoma berulang setelah respons kemoterapi insial yang bertahan lama setidaknya 50% mencapai induksi ulang komplit dengan MTX; hal ini menandakan bahwa bahwa limfoma otak mungkin tidak muncul karena resistensi obat saja. Pada pasien dengan usia dibawah 65 tahun dan layak untuk terapi mieloablatif, kemoterapi intensif diikuti dengan penyelamatan oleh stem sel hematopoetik sangat direkomendasikan sebagai pilihan analog terapi penyelamat dan kuratif yang potensial pada situasi dimana terjadi relaps sistemik malignansi sel B NHL tingkat lanjut. Pada 39 pasien dengan relaps (n=21) atau penyakit refrakter (n=17) dengan terapi lini-utama, kemoterapi berbasis thiotepa/busulfane/siklofosfamida dosis tinggi diberikan setelah dua siklus dari ara-C dan induksi etoposida. CR (PR) dicapai pada 15(5) kasus dan median keseluruhan angka harapan hidup keseluruhan setelah inisiasi dari terapi penyelaman adalah 18,3 bulan. Respons pasien untuk agen lainnya terlihat pada 25-40% dari kasus dengan temozolomida saja atau dengan kombinasi antibodi CD20 rituximab, dan topotecan 1,5 g/m2/hari, hari 1-5, setiap 4 minggu. Setelah kegagalan utama atau sekunder terhadap MTX dosis tinggi di 27 pasien, WBRT dengan dosis median 36 Gy dan dorongan fakultatif ke daerah inisial tumor telah menghasilkan 37% remisi komplit yang bertahan lama (durasi median 57,6 bulan) dan 37% remisi parsial bertahan cepat (median durasi 9,7 bulan). Dosis total lebih dari 36 Gy, fraksi tunggal lebih dari 1,5 Gy dan usia lebih dari 60 tahun merupakan prediktor neurotoksisitas terkait terapi saat dilakukan follow up. Temuan ini telah dikonfirmasi pada analisis retrospektif pada sebuah pusat kesehatan, yang menunjukkan angka kejadian CR (tingkat PR) sebesar 58% (21%) pada 48 pasien yang diterapi dengan dosis median sebesar 40 Gy WBRT ketika relaps (n=24) atau ketika terjadi progresi (n=24); kontrol penyakit jangka panjang terlihat pada 31% pasien.
Follow up
MRI setelah terapi yang berhasil dari PCNSL menunjukkan lesi kecil yang membesar pada daerah dari tumor awal atau daerah dimana terjadi manipulasi bedah. Lesi ini tidak menunjukkan tumor aktif dan diklasifikasikan sebagai respons komplit/tidak terkonfirmasi. MRI follow up pada kasus-kasus ini menunjukkan adanya penurunan dalam ukuran atau pada bentuk dari lesi ini. Masih diteliti apakah skrining PET dapat membantu membedakan lesi ini dari tumor aktif atau jika metode tersebut dapat membantu dalam mendeteksi relaps sejak awal. MRI otak dan pemeriksaan neurologik dilakukan setiap 3 bulan selama 2 tahun setelah terapi dan setiap 6 bulan selama 3 tahun berikutnya. Pemeriksaan CSF, pemeriksaan oftalmologi dan pemeriksaan-pemeriksaan lainnya dilakukan hanya jika terdapat gejala klinis.  Pemeriksaan neurofisiologi serial disarankan karena neurotoksisitas lanjut tetap menjadi komplikasi terapi utama.
Rekomendasi terapi
Sayangnya, kemajuan berarti untuk terapi PCNSL belum diterjemahkan ke dalam praktik klinis. Analisis terakhir dari data angka harapan hidup PCNSL yang berbasis populasi di Amerika telah menunjukkan tidak adanya perbedaan data pada angka angka harapan hidup keseluruhan pada akhir tahun 90-an dengan dibandingan dengan awal tahun 70-an. Oleh karena itu hal-hal ini direkomendasikan:
·         Jika layak, pasien harus diikutkan pada percobaan klinis.
·         Peranan bedah sangat terbatas pada biopsi stereotaktik untuk diagnosis histopatologi.
·         Pada pasien berusia dibawah 60 tahun, penyembuhan yang diutamakan. MTX dosis tinggi berbasis polikemoterapi dengan penangguhan radiasi atau selingan kemoterapi dosis tinggi dengan penyelamat sel punca otolog diberikan pada pasien yang layak untuk regimen ini.
·         Untuk pasien diatas 60 tahun, belum ada regimen kuratif dengan toksisitas yang diterima yang telah dipublikasikan. Kemoterapi berbasis MTX; sebagai contoh, dengan kombinasi dengan temozolomida direkomendasikan.
·         Kombinasi radioterapi dengan kemoterapi berbasis MTX berpotensi  menyebabkan sekuel neurotoksik berat jangka panjang. Oleh karena itu, radioterapi tidak direkomendasikan untuk diberikan pada terapi awal penyakit selain untuk percobaan klnik.
·         Pada saat relaps setelah respons jangka panjang, induksi ulang kemoterapi berbasis MTX, yang efektivitasnya sama dengan terapi saat pertama didiagnosis,  direkomendasikan sebagai terapi penyelamat pada pasien usia lanjut. Temozolomida atau topotekan dapat diberikan pada kasus-kasus dengan respons jangka pendek pada terapi saat pertama didiagnosis atau pada kasus kegagalan langsung terhadap MTX. Radiasi mungkin baik untuk pasien yang tidak memberikan respons pada regimen kemoterapi. Pada pasien yang berusia kurang dari 60 tahun, direkomendasikan untuk menggunakan kemoterapi intensif dengan transplantasi sel punca otolog.

 Contact Us for further translation Details.

No comments:

Post a Comment