Perkembangan
Terapi Penyakit Neurologis
Tinjauan:
Limfoma SSP Primer
Uwe
Schlegel
Therapeutic Advances in Neurological
Disorders 2009 2:93
Abstrak: Limfoma SSP Primer (Primary CNS Lymphoma – PCNSL) mewakili 3% dari seluruh tumor otak
primer dengan usia median 62 tahun saat awitan penyakit. Pada sebagian besar
kasus PCNSL merupakan ditemukan sebagai lesi menyangat unifokal atau multifokal
pada MRI, yang seringkali berdekatan dengan ventrikel. Biopsi stereotaktik
adalah prosedur diagnostik pilihan yang mengungkap limfoma sel-B non-Hodgkin
malignan derajat tinggi pada lebih dari 90% kasus. Terapi untuk penyakit ini
belum berbasis bukti. Jika memungkinkan, pasien-pasien wajib diikutsertakan
pada uji klinis. Pada pasien-pasien berusia kurang dari 60 tahun, sasaran
terapi adalah kesembuhan pasien. Plikemoterapi berbasis methotreksat (MTX)
dosis tinggi atau alternatifnya berupa kemoterapi dosis tinggi dengan sel punca
otology wajib ditawarkan kepada pasien-pasien yang sesuai untuk regimen
tersebut. Untuk pasien-pasien berusia lebih dari 60 tahun, tidak terdapat
regimen kuratif dengan toksisitas yang dapat diterima yang telah ditetapkan
saat ini. Kemoterai berbasis MTC, contohnya, direkomendasikan untuk dikombinasikan
dengan temozolomide. Peran radioterapi sebagai bagian terapi awal masih belum
jelas; walaupun begitu, kombinasi radioterapi dengan kemoterapi berbasis MTX berpotensi
menyebabkan sekuelae nerotoksik berat jangka panjang. Oleh karena itu,
radioterapi tidak direkomendasikan sebagai terapi awal oleh penulis selain
untuk uji klinis. Saat relaps atau pada kasus-kasus penyakit refrakter,
pasien-pasien seringkali mendapatkan keuntungan dari terapi penyelamatan, yang
bergantung pada terapi awal yanf diterima.
Kata
kunci: Limfoma SSP, tumor otak, limfoma non-Hodgkin, methrotrexate,
temozolomide
Pendahuluan
Terapi
limfoma SSP primer (PCNSL) telah meningkat secara substansial dalam dua dekade
terakhir dengan diimplementasikannyan kemoterapi berbasis methotreksat (MTX)
sistemik dosis tinggi, sehingga sebagian pasien dalam jumlah substansial bahkan
dapat disembuhkan dari penyakit ini. Dalam tinjauan ini, perkembangan terbaru
akan disorotkan dengan fokus khusus kepada pendekatan kemoterapeutik dan eksperimental.
Epidemiologi
Insidens
PCNSL telah meningkat signifikan pada individu imunokompromais maupun
imunokompeten, dan mewakili 3% dari seluruh tumor intrakranial. Penyakit ini
telah menjadi tumor otak yang paling sering ditemukan pada pasien AIDS; akan tetapi,
diperkenalkannya terapi antiretroviral yang sangat aktif (Highly active antiretroviral therapy – HAART) telah menurunkan
angka kejadian seluruh limfoma non-Hodgkin (NHL) dengan dramatis, termasuk
limfoma otak primer dan sekunder. PCNSL dapat menyerang seluruh kelompok usia
dengan puncak insidens pada dekade kelima hingga ketujuh pada pasien non-AIDS.
Tampilan Klinis dan Pencitraan
Sebagian
besar PCNSL memiliki tampilan sebagai massa otak supratentorial difus dan multifokal.
Sebagai ciri khas PCNSL, keterlibatan vitreus, retina, dan saraf oprik dapat
ditemukan pada sekitar 10-15% pasien saat muncul gejala. Infilfrasi limfomatosa
pada permukaan leptomeninges atau epidermal serta invasi pleksus atau radikuler
dapat juga terjadi. Dengan menggunakan pengelompokkan sistemik, limfoma
sistemik tersembunyi dapat dieteksi pada hingga 8% pasien yang pada awalnya
menunjukkan limfoma otak. Oleh karena itu, direkomendasikan untuk melakukan
biopsy sumsum tulang CT Scan dada dan abdomen, USG testis, dan pemeriksaan fisik
yang cermat untuk mendeteksi limfoma sistemik tersebunyi. Pada sebuah seri
monosentrik, PET seluruh tubu dengan menggunakan 18F-fluorodeoksiglukosa
(FDG) telah ditunjukkan menyingkap adanya NHL sistemik pada 7% saat terjadinya
limfoma yang terutama mengenai SSP dan 27% saat relaps; walaupun begitu, peran
diagnostik umumnya belum jelas hingga saat ini. Evaluasi diagnostik rutin pada
suspek PCNSL terdiri dari pemeriksaan oftalmologi termasuk pemeriksaan lampu
celah, analisis CSF (lihat di bawah), serologi HIV, dan kadar laktat
dehidrogenase (LDH) serum. Gejala klinis PCNSL terdiri dari gangguan kognitif,
perlambatan psikomotor, perubahan kepribadian, dan disorientasi pada sebagian
besar pasien/ Peningkatan tekanan intrakraial dan gejala fokal yang ditunjukkan
oleh sekitar 50% pasien. Sementara itu, disfungsi batang otak, tanda-tanda
serebellar, dan disfungsi saraf kranial serta bangkitan hanya muncul pada
sebagian kecil pasien. Pencitraan dengan resonansi magnetik (MRI) adalah
prosedur radiologis yang paling sensitif: tumor seluler padat terlihat sebagai
lesi tunggal (65%) atau multipel pada gambar tanpa penyangat T1-weighted (gambar 1), tumor
hiperintens dan edema pada gambaran T2 dan FLAIR dan massa yang sangat
menyangat setelah pemberian gadolinium. Lima puluh persen lesi atau lebih
berkontak dengan meninges, dan penyangatan meningeal terlihat pada 10-20%
pasien.
Diagnosis dan Patologi
Biopsi
stereotaktik adalah prosedur diagnostik pilihan dan dapat dilakukan pada target
massa yang telah didiagnosis melalui CT atau MRI. Glukokortikoid wajib ditunda
jika memungkinkan, karena lesi yang diterapi dapat menghilang dalam beberapa hari
dan dapat menyebabkan biopsi “nondiagnostik”. Walaupun begitu, analisis
retrospektif terbaru pada kasus-kasus yang akhirnya dikonfirmasi sebagai PCNSL
telah menunjukkan bahwa pada kasus-kasus tersebut, hasil biopsi berulang untuk
prosedur nondiagnostik pertama jarang terlepas dari terapi steroid sebelumnya
(12%) atau tidak ada terapi (13%) dan bahwa regresi menyeluruh dari seluruh
lesi yang sedang diterapi dengan steroid jarang ditemukan. Respons terhadap
steroid tidak memiliki nilai diagnostik untuk PCNSL, karena banyak tipe
infiltrat otak meningkat dengan terapi steroid – contohnya, sarkoidosis, plak
sklerosis multipel (MS) dan bahkan lesi infeksius. Pada sebuah seri prospektif
yang mengevaluasi 116 spesimen cairan spinal, temuan patologis pada lebih dari
lima puluh persen kasus yang dianalisis, serta sitomorfologi CSF menemukan
hasil positif untuk sel-sel limfoma pada 18% kasus. Penelitian imuohistokimia
pada sel-sel CSF dengan menggunakan antibodi terhadap limfosit (LCA) atau sel B
(CD20) tidak spesifik untuk mendiagnosis proliferasi klonal pada CSF. Deteksi
monoklonalitas sel B dengan menggunakan amplifikasi PCR untuk pengaturan gen
rantai berat imunoglobulin dapat dilakukan pada laboratorium khusus, namun
ternata kurang sensitif dibandingkan sitomorfologi pada penelitian prospektif
pada 282 pasien PCNSL. Oleh karena itu, teknik-teknik tersebut tidak ditetapkan
sebagai diagnostik rutin.
Berdasarkan
klasifikasi Badan Kesehatan Dunia (WHO), mayoritas PCNSL diklasifikasikan
sebagai limfoma sel B berukuran besar yang difus (diifuse, large B-cell
lymphomas- DLBCL). Lebih dari 95% PCNSL berkorespondensi dengan limfoma selB
non-Hodgkin dibuktikan dengan ekspresi penanda sel B CD19, CD20, CD79a.
Aktivitas mitosis biasanya tinggi dan dapat terjadi nekrosis. Sebagian besar
PCNSL berasal dari sel B pusat germinal (Germinal
Center –GC): sel-sel tersebut memiliki ekspresi gen bd-6 yang berlebihan dan
aktivitas mutasi yang sedang berlangsung dan menunjukkan fenotip yang mirip
dengan sel B: PCNSL menunjukkan perubahan molekuler yang khas untuk sel B mirip
GC (GCB) dan untuk DLBCL sel B mirip ABC . LImfoma sel T primer pada SSP
mewakili 4% dari seluruh PCNSL; dalam hal prognosis dan repons terapi, tidak
ada perbedaan jelas. Pada kurang dari 5% kasus, PCNSL derajat rendah (yang
berasal dari sel B atau sel T) ditemukan. Sel-sel tersebut dapat menunjukkan
perjalanan penyakit yang lebi indolen, yang seringkali menunjukkan bangkitan
dan menunjukkan fitur radiologis seperti penyangatan yang kurang intens atau
heterogen.
Terapi
Pembedahan
Peran
pembedahan hanya terbatas pada biopsi stereotaktik pada lesi yang diduga
sebagai PCNSL untuk mendapatkan materi pada diagnosis histopatologis. Setiap
usaha untuk mereseksi lesi yang berinfiltrasi difus ini telah
dikontraindikasikan. Pengangkatan secara bedah sebagai bagian terapi multimodal
telah ditunjukkan berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk.
Radioterapi
Radioterapi
merupakan terapi wajib selama bertahun-tahun hingga awal 1990. Satu-satunya penelitian
prospektif fase II untuk iradiasi otak pada pasien HIV-negatif dengan PCNSL
mengevaluasi 41 pasien yang mendapatkan radioterapi seluruh otak dengan
kekuatan 40 Gy (WBRT) plus tumor boost
sebesar 20 Gy, setiap dosis diberikan dalam fraksi 1.8 Gy. Median harapan hidup
seluruh kelompok tersebut adalah 12.2 bulan setelah diagnosis dan 7.6 bulan
untuk pasien-pasien berusia di atas 60 tahun.
Empat dari 41 pasien (10%) meninggal saat diberikannya terapi. Pada uji
klinis ini, 28 pasien mengalami limfoma berulang dari 22 pasien yang berada
dalam boost fields. Pada analisis
retrospektif pada pasien-pasien yang diterapi dengan radioterapi saja pada
tahun 1990-an, harapan hidup seluruh kelompok (dengan median 63 tahun) adalah
18 bulan dan fraksi kelangsungan hidup pasien adalah 18%. Oleh karena itu,
terlepas dari kurangnya rekomendasi berbasis bukti, konsensus yag umum diakui
saat ini menetapkkan bahwa iradiasi otak saja tidak cukup untuk menyediakan
remisi yang tahan lama atau kesembuhan PCNSL.
Kemoterapi
Untuk
menilai peran kemoterapi, analisis retrospektif pada 370 pasien yang diterapi
untuk PCNSL dengan terapi yang berbeda-beda telah mennnjukkan hasil terapi yang
secara signifikan lebih baik untuk pasien-pasien yang diterapi dengan
kemoterapi dan radioterapi dibandingkan dengan radioterapi saja, jika
kemoterapi memasukkan MTX intravena dosis tinggi. MTX dosis yang cukup tinggi
dapat mencapai level terapeutik di plasma, CSF, dan parenkim otak dan mata
setelah administrasi parenteral, perlu diberikan melebihi 1 g/m2 secara
intravena; walaupun begitu, dosis optimal atau jadwal dosis tidak
didefinisikan.
Dua
uji multisentris telah mengevaluasi MTX saja untuk PCNSL: pada penelitian fase
II di Jerman, MTX diberikan dengan dosis 8g/m2 sebagai infus selama
4 jam setiap 14 hari selama enam siklus; walaupun begitu, penelitian tersebut
diterminasi setelah mengikutsertakan 37 dari 105 pasien yang diproyeksikan,
karena angka respons keseluruhan hanya 35%. Bahkan dengan aplikasi WBRT
keselamatan pada 20 dari 37 pasien baik untuk penyakit progresif (PD) atau
untuk relaps, median harapan hidup tidak melebihi 25 bulan. Protokol yang sama
pada uji multisentris dengan intervensi tunggal, mencapai angka respons
keseluruhan sebesar 74% (52% respons lengkap, 22% respons parsial); Akan tetapi,
median angka harapan bebas progresi
hanyalah 12.8 bulan dan angka harapan hidup keseluruhan untuk 55 bulan
merupakan hasil dari terapi penyelamatan yang efisien dari progresi atau
relaps. Kemoterapi kombinasi mungkin lebih efisien dibandingkan MTX dosis
tinggi saja; sebuah analisis retrospektif telah mengidentifikasikan inklusi
dari dosis tinggi sitarabin (ara-C) dalam protokol berbasis MTX sebagai
prediktor prognosis positif yang independen. [Ferreri et al.2002]. Polikemoterapi
sebagai terapi tunggal telah divaluasi pada dua fase (I)/II penelitian multisentris
prospektif. Pada fase I/II percobaan multi-obat [Pels et al. 2003a], 65 pasien
diterapi dengan enam siklus kemoterapi berdasarkan pada MTX dosis tinggi, dosis
tinggi ara-C, vinka-alkaloid dan agen alkilasi sebagai kombinasi dengan MTX
intraventrikular, prednisolon dan ara-C. Dicapai tingkat respons komplit sebesar
61% dan respons parsial sebesar 10%; telah dilaporkan 9% kematian yang terkait
dengan terapi. Median angka harapan bebas relaps adalah 21 bulan dan median
keseluruhan harapan hidup adalah 50 bulan. Hasil cukup menjanjikan terlihat pada
30 orang pasien berusia dibawah 60 tahun yang ikut serta dalam penelitian ini.
Pada pasien- pasien ini median harapan hidup bebas progresi atau median
keseluruhan harapan hidup telah dicapai setelah median follow up selama 26 bulan; fraksi harapan hidup dalam 5 tahun
adalah 75% [Pels et al. 2003a]. Pada
pasien berusia diatas 60 tahun, keseluruhan harapan hidup adalah 34 bulan. Akan
tetapi, protokol ini menghasilkan tingkat respons keseluruhan hanya 56% pada
pasien usia diatas 60 tahun dan dihubungkan dengan 12% kematian karena toksik
pada kelompok usia. Pada penelitian EORTC, 52 pasien berusia 60 tahun atau
lebih (usia median 72 tahun, skor median Karnofsky 50) diterapi dengan MTX
sebesar 1 g/m2 melalui infus pada hari ke 1,10 dan 20, digabungkan dengan
lomustine 40 mg/m2 pada hari ke-1, procarbazine 60 mg/m2 hari ke 1-7,
metilprednisolon dua hari sekali sebesar 120 g/m2 pada hari ke 1-20 dan 60
mg/m2 pada hari ke 20-45, MTX intratekal 15 mg dan ara-C 40 mg pada hari ke
1,5,10 dan 15. Pada kasus respons komplit atau parsial yang didokumentasikan
oleh MRI atau CT, setelah siklus pertama, lima siklus berikutnya (terapi
rumatan) diberikan setiap 6 minggu dengan hanya satu infus MTX dan hanya satu MTX
intratekal dan pemberian ara-C pada hari pertama pada setiap siklus. Tingkat respons keseluruhan
adalah 48%, angka median harapa hidup keseluruhan adalah 14,3 bulan dan fraksi harapan
hidup 1 tahun bebas progresi berusia lebih 60 tahun, MTX 3 g/m2 pada
hari ke-1, 10, dan 20 dikombinasikan dengan temozolomide 100 mg/m2 pada hari ke
1-5; pada pasien dengan respons komplit atau parsial atas kemoterapi induksi
tersebut (17 dari 20 pasien yang dapat dievaluasi) terapi rumatan diberikan
dengan MTX 3g/m2 dan temozolomide 100mg/m2 pada hari ke 1
hingga 5 setiap bulan hingga lima kali. Median harapan hidup bebas kejadian
adalah 8 bulan pada penelitian tersebut dan keseluruhan harapan hidup adalah 35
tahun, lebih baik dibandingkan dengan regimen yang lebih sulit.
Kemoterapi intratekal. Peranan kemoterapi
intratekal/intraventrikular pada PCNSL masih belum jelas. MTX, ara-C dan
steroid telah diberikan melalui rute lumbar atau ventrikular (melalui reservoa
subgaleal) sebagai bagian dari regimen kemoterapi sistemik : MTX 12 mg dua kali
seminggu diberikan melalui jalur lumbar pada dua penelitian [Poortmans et al.
2003; DeAngelis et al. 2002], tetapi aplikasi intraventrikluar memberikan dosis
harian yang lebih rendah untuk mencapai kadar CSF terus menerus[Pels et al.
2003b]. Secara umum kadar ini sering melampaui konsentrasi 100 µM. tanpa melihat polikemoterapi sistemik yang
tidak berubah dibandingkan dengan protokol aslinya, tetapi menghilangkan terapi
intraventrikular, sebuah penelitian berikutnya pada pasien berusia <60 tahun
memiliki hasil yang sangat buruk, yang pada keadaan tersebut protokol
polikemoterapi dengan kemoterapi intraventrikular tampaknya sangat diperlukan.
Keuntungan dari pemberian obat CSF telah dipertimbangkan, mengingat risikonya berupa
ventrikulitis iatrogenik, masalah akibat akses berulang terhadap CSF, dan efek
leukoensefalopati dari obat yang terlokulasi dalam neuraxis. Pada penelitian
kasus-kontrol retrospektif berskala kecil, tidak ada perbedaan dalam angka
harapan hidup, kontrol penyakit atau neurotoksisitas dapat ditemukan diantara
resipien dan bukan resipien dari terapi intratekal, dan analisis retrospektif
dari faktor prognosis untuk 370 PCNSL tidak menemukan adanya pengaruh dari
terapi intratekal pada keluaran. Walaupun begitu, sebagian kecil pasien yang
menerima kemoterapi intratekal tidak diterapi dengan kemoterapi radisi seluruh
otak (WBRT), yang merupakan sebuah terapi efisien untuk kompartemen CSF. Oleh
karena itu, dampak yang mungkin terjadi akibat kemoterapi intratekal dapat dirancukan
oleh keadaan ini. Profilaksis intratekal atau kemoterapi intraventrikular harus
dipertimbangkan untuk diteliti.
Kemoterapi dosis tinggi Myeloblatif. Jenis terapi ini memungkinkan pencapaian
obat dengan kadar terapi di otak, CSF dan di seluruh neuraxis. Sel punca otolog
diberikan untuk menyelamatkan pasien dari leukopenia terinduksi obat dan
trombositopenia. Terapi telah diberikan pada PCNSL rekuren atau yang baru terdiagnosis.
MTX dan/atau ara-C digunakan untuk ‘Terapi induksi’ untuk mendapatkan remisi,
dilanjutkan dengan regimen berbasis tiotepa atau ara-C, melphalan, karmustin
dan etoposide. Walaupun terapi kedua memberikan hasil yang mengecewakan,
kombinasi kemoterapi dosis tinggi dengan WBRT (50 Gy setelah respons parsial
dan 45 Gy setelah respons komplit pada kemoterapi, secara berurutan) pada
percobaan fase II untuk pasien diatas 65 tahun menghasilkan fraksi harapan
hidup selama 5 tahun sebesar 69% pada analisis intent-to-treat. Percobaan monosentris pertama dengan menggunakan regimen
intensif berdasarkan protokol namun tanpa menggunakan radioterapi meberikan
hasil awal yang menjanjikan, dan saat ini menjadi subyek pada percobaan label
terbuka, single-arm, multisentris
fase II. Walaupun begitu, pendekatan ini harus mempertimbangkan eksperimen
sebagai terapi utama. Tingkat respons dan harapan hidup bebas kejadian pada
PCNSL yang baru terdiagnosis tidak lebih baik dengan penggunaan terapi
konvensional, kematian karena toksisitas obat atau progresi tumor dilaporkan
pada pasien berusia diatas 60 tahun, dan follow
up yang lebih lama dari yang disebutkan pada percobaan menunjukkan adanya munculnya
relaps di kemudian hari.
Pada
relaps PCNSL, kemoterapi dosis tinggi dengan transplantasi stem sel autologus
memberikan opsi yang baik pada individu yang lebih muda. Kombinasi kemoterapi
dan radioterapi sistemik MTX
‘dosis-tinggi’ telah dimasukkan ke dalam hampir semua kombinasi protokol
kemo-dan radioterapi yang dievaluasi pada penelitian fase I/II. Tiga penelitian
prospektif multisentris besar fase II telah mengkombinasikan kemoterapi
berbasis MTX dengan WBRT: dalam kelompok radiasi onkologi Trans-Tasman sebuah
protokol telah diberikan pada 46 pasien (median usia 58 tahun, range usia
25-76) yang terdiri dari dua siklus dari MTX 1 g/m2 melalui infus
selama 6 jam pada hari ke 1 dan 8 diikuti oleh WBRT 45 Gy dan 5,4 Gy tumor boost diberikan sebesar fraksi 1,8
Gy dimulai pada hari ke 15. Hanya terdapat satu kematian akibat keracunan, dan
45 pasien melanjutkan ke radioterapi. Pada 39 pasien yang dapat dinilai,
tingkat respons komplit adalah 82% dan tingkat respons parsial adalah 13%.
Median keseluruhan harapan hidup adalah 33 bulan dan kemungkinan harapan hidup
dalam 2 tahun adalah 62%. Protokol yang lebih kompleks telah digunakan oleh
kelompok onkologi terapi radiasi dan oleh EORTC Eropa (Penelitian, 20962). Pada
penelitian yang terakhir MTX 3g/m2 (hari 1,15) dikombinasikan dengan
metilprednisolon 60 mg/m2 (hari 1-5), teniposide 100 mg/m2
(hari 2,3) dan karmustine 100 mg/m2
(hari ke 4) dan dengan MTX intratekal 15 mg, ara-C 40 mg dan
hidrokortison 25 mg (hari 1,15) diikuti dengan radioterapi otak dengan dosis
total 40 Gy pada fraksi 1,5-1,8 Gy. Dua puluh lima pasien dengan usia diatas 65
tahun diikutsertakan; satu meninggal sebelum penelitian, dan lima meninggal
selama terapi. Pada kelompok intent-to-treat,
69% memiliki respons komplit dan 12% respons parsial. Median estimasi
keseluruhan harapan hidup adalah 46 bulan; estimasi angka harapan hidup dalam 2
tahun adalah 69%. Mempertimbangkan bahwa hanya pasien berusia diatas 65 tahun
yang diikutkan dalam penelitian EORTC ini, data penelitian tersebut tidak lebih
baik daripada penelitian trans-tasman.
Pada
penelitian RTOG 93-10 [DeAngelis et al.2002] 102 pasien dengan usia median 56,5
tahun menerima MTX sistemik 2,5 g/m2, vinkristine 1,4 mg/m2 dan prokarbazin 100
mg/m2/hari pada minggu 1,3,5,7 dan 9 dan selingan dengan intraventrikular MTX
12 mg sekali pada minggu 2,4,6,8 dan 10, diikuti oleh WBRT dari mingguke- 11
hingga minggu ke-15 dengan 45 Gy atau- sebagai bukti neurotoksisitas permanen dari regimen ini-
hanya 36 Gy pada kasus dengan respons komplit setelah kemoterapi untuk 16
pasien yang bertambah pada setengah waktu penelitian. Radioterapi diikuti oleh
ara-C sistemik 3 g/m2 hari ke 1 dan 2 pada minggu ke 16 dan 19. Tidak ada
terapi yang menyebabkan kematian yang dilaporkan; akan tetapi, empat pasien
dieksklusikan dari analisis. Dari sisa sebanyak 98 pasien, 82 melanjutkan radioterapi
dan 50 di antara pasien-pasien tersebut dinilai respons terapinya dengan 58%
memiliki respons komplit, dan 36% respons parsial dan 6% gagal terapi. Median
keseluruhan harapan hidup adalah 37 bulan dan fraksi harapan hidup selama 2
tahun 64%. Penggunaan radioterapi sebagai bagian dari terapi awal masih
diperdebatkan, perannya saat ini masih diselidiki dalam percobaan multisentris
fase IV di Jerman (Kelompok penelitian 1 penelitian PCNSL Jerman) dibandingkan
dengan WBRT segera (30x1,5 Gy) setelah remisi komplit (CR) hingga MTX (4g/m2) siklus
ke-enam dibandingkan dengan radioterapi yang ditangguhkan pada relaps setelah
CR.
Imunoterapi. Karena 90% kasus PCNSL menunjukkan malignansi
sel B NHL tingkat lanjut s, sel-sel tumor tersebut mengekspresikan antigen
CD20. Terapi dengan antibodi anti-CD20 rituximab efektif pada sel B NHL dan
beberapa laporan, akan terapi rituximab telah dipublikasikan sebagai terapi
PCNSL refrakter. Rituximab sangatlah jelas mampu membersihkan CSF dari sel-sel
tumor yang berpencar-pencar jika diberikan secara intraventrikular; akan
tetapi, efeknya untuk mengontrol lesi parenkim setelah pemberian intravena atau
intraventrikular hanya telah didemonstrasikan pada satu buah kasus saja.
Sebagai bagian dari protokol multimodal yang membandingkan MTX sistemik,
vinkristine dan prokarbazine, rituximab telah diberikan pada dosis sistemik 500
mg/m2 setiap siklus selama lima hingga tujuh siklus, diikuti oleh WBRT dan dua
siklus berurutan dengan menggunakan ara-C sistemik pada percobaan multisentris
prospektif; WBRT merupakan profilaksis pada kekuatan 23,4 Gy untuk kasus-kasus
yang menunjukkan respons komplit setelah lima hingga tujuh siklus
imunokemoterapi dan ‘standar’ dengan 45 Gy pada semua kasus lainnya. Regimen
ini ditoleransi dengan baik, dan angka harapan dua tahun bebas progresinya
adalah 57%, sementara angka harapan hidup keseluruhannya adalah 67%. Sangat
sulit untuk menilai dampak terapi rituximab dalam regimen multimodal ini pada
penelitian single-arm. Ini adalah catatan,
bahwa pada penilitian tersebut, level rituximab dalam CSF tidak melebihi 4,4%
dari kadar serumnya pada titik waktu yang diukur. Memasukkan rituximab pada
konsep terapi untuk melawan PCNSL mungkin memiliki alasan rasional lainnya; hal
ini telah menunjukkan bahwa pada lebih dari 27% relaps PCNSL, NHL sistemik
dapat terdeteksil pada 24% kasus lain dari PCNSL pasien yang menunjukkan
penyakit di luar SSP dan pada penelitian serupa, sel NHL tersembunyi pada
sampel darah perifer telah dideteksi dengan amplifikasi PCR gen
klonal ulang rantai imunoglobulin berat (IgH) pada setidaknya
2 dari 24 pasien PCNSL yang sedang berada dalam remisi penuh dari penyakit SSP
pada saat analisis. Karena metode ini yang agak sensitif, jumlah sebenarnya
pasien yang memiliki NHL tersembunyi, yaitu sel-sel yang menunjukkan tropisme
pada pembuluh darah SSP, mungkin lebih rendah dibandingkan jumlah aslinya.
Oleh
karena itu, pemberian rituximab sistemik mungkin bersifat toksik untuk penyakit
sistemik yang tersembunyi. Dua seri kasus dari pasien dengan relaps refrakter
atau relaps PCNSl telah menunjukkan bahwa aplikasi dari radiokonjungasi seperti
antibodi CD 20 [90Y] ibritumomab (Zevalin) dan [131I] tositumomab (Bexxar)
lebih layak dan menghasilkan respons pada kasus tunggal. Akan tetapi, peran
masa depan dari antibodi radiokonjungasi CD20 pada PCNSL perlu lebih diteliti
dengan jelas.
Neurotoksisitas Lanjutan terkait
Terapi
Kerugian jangka panjang karena neurotoksisitas
terkait terapi setelah kombinasi kemoterapi dan radioterapi telah dilaporkan
pada analisis pada satu pusat kesehatan pada tahun 1998. Setelah bertahan
selama 4 tahun tanpa tumor, 100% dari pasien berusia 60 tahun atau lebih
menunjukkan adanya disfungsi kognitif. Individu yang lebih muda lebih sedikit
terserang dan mengalami komplikasi yang lebih lambat. Pasien yang terserang
gangguan tersebut menunjukkan adanya leukoensefalopati dan atrofi kortika/subkortika,
yang dapat menyebabkan demensia, ataksia, inkontinensia dan ketergantungan
terhadap perawat. Penyelidikan patologi pada otak pasien dengan neurotoksisitas
yang telah meninggal menunjukkan tidak adanya sel tumor, tetapi terdapat
hilangnya mielin dan akson, gliosis, spongiosis dan penghalusan dari substansia
grasia. Pada analisis retrospektif pada 183 pasien yang diterapi untuk
mengobati PCNSL pada sebuah pusat kesehatan, untuk melihat perkembangan dari neurotoksisitas
akibat terapi jangka panjang, satu-satunya faktor risiko yang tercatat hanyalah
radioterapi. Temuan ini didukung oleh tinjauan literatur terbaru yang
mengusulkan bahwa pasien dengan PCNSL yang telah diterapi dengan kemoterapi
saja memiliki risiko yang lebih rendah untuk mengalami neurotoksisitas
lanjutan.
Oleh
karena itu, pasien PCNSL direkomendasikan untuk menjalani pemeriksaan
neurofisiologi formal pada penelitian terapi prospektif. Pedoman untuk
pemeriksaan tersebut telah dipublikasikan. Dengan mempertimbangkan risiko
jangka panjang untuk terjadinya neurotoksisitas
akibat radioterapi ‘konsolidasi’ setelah respons komplit terhadap kemoterapi,
sebuah analisis retrospektif pada sebuah pusat kesehatan pada 122 pasien dilakukan untuk menilai masalah ini. Tidak ada
perbedaan pada angka harapan hidup keseluruhan yang ditemukan antara pasien
relaps yang sebelumnya merupakan responder komplit yang menerima kemoterapi
berbasis MTX dan menerima radioterapi ‘konsolidasi’ seluruh otak dengan mereka
yang radioterapinya ditangguhkan. Oleh karena itu, untuk menghindari
neurotoksisitas, telah ditetapkan untuk menangguhkan radioterapi setelah respons
komplit kepada kemoterapi untuk menyelamatkan pasien pada saat terjadi relaps.
Situasi
spesifik
Dampak pada usia
Prognosis
dan respons terhadap terapi pada pasien berusia 60 tahun atau lebih secara
signifikan lebih buruk terlepas dari modalitas terapi yang digunakan. Telah
diusulkan pula bahwa, tidak sesuai dengan skor Karnofsky, pasien dengan usia
yang lebih muda dari 50 tahun mendapatkan hasil terapi lebih baik daripada yang
berusia lebih tua. Walaupun begitu, usia median pada pasien PCNSL berusia lebih
dari 60 tahun dan ‘situasi terapi spesifik’ telah dipertimbangkan untuk sebagian
besar pasien, karena individu yang lebih tua sering memiliki komorbiditas,
kurang dapat mentoleransi terapi dan mempunyai risiko tinggi terjadinya neurotoksisitas.
Oleh karena itu, harus dilakukan usaha spesifik utuk mencegah terjadinya hal
tersebut. Dosis MTX disesuaikan dengan
laju filtrasi glomelurus.
Pada
89 pasien berusia lebih dari 60 tahun yang diterapi pada penelitian yang
dilakukan di Jerman, MTX sebanyak 4 g/m2
diberikan sebagai infus dalam 4 jam setiap 2 minggu maksimal selama enam
siklus, bersamaan dengan deksametason 3x8 mg selama 10 hari pada siklus pertama. Sebelum dimulainya
tiap siklus, klirens kreatinin diukur dan dosis MTX diturunkan berdasarkan
nilai klirens kreatinin dari 80 ml/menit dan seterusnya; sebagai contoh, dosis
diturunkan 20% untuk klirens kreatinin 80ml/menit dan 40% untuk 60 ml/menit. Nilai
klirens kreatinin kurang dari 50 ml/menit merupakan kriteria eksklusi untuk MTX
dosis tinggi. Penurunan dosis diperlukan pada 44% pasien yang berusia lebih
dari 60 tahun, dan penghentian dari terapi karena nefrotoksisitas hanya terjadi
pada 3% pasien. Toksisitas keseluruhan, berdasarkan skor WHO nilai lebih dari
2, muncul pada kurang dari 10% pasien; hasil terapi tidak diberikan. Dengan
melihat data ini bersama-sama, telah direkomendasikan untuk mengobati pasien
berusia lanjut dengan regimen berbasis MTX dosis tinggi; sebagai contoh, 4 g/m2
selama enam siklus (disesuaikan dengan laju filtrasi glomelurus) digunakan kombinasi
dengan deksametason 3x8 mg selama 10 hari selama siklus pertama, karena hal ini
telah sebelumnya dilaporkan memadai. Selingan MTX 3g/m2 pada hari 1, 10 dan 20 dapat
dikombinasikan dengan temozolomide100mg/m2 pada hari 1-5 dengan terapi rumatan
(MTX3 g/m2 dan temozolomide 100mg/m2 pada hari 1–5) setiap bulan hingga lima
kali pada pasien yang memberikan respons. Menurut hasil yang telah
dipublikasikan dari penelitian-penelitian lainnya, tingkat respons kurang dari
60% diantisipasikan dan terapi penyelamatan harus diinsiasikan pada pasien
refrater.
Pasien HIV positif dan limfoproliferasi
paska transplantasi (PTLD)
Sebelum
adanya era HAART, pasien infeksi HIV dengan PCNSL biasanya memiliki prognosis
yang buruk: 1/3 dari mereka meninggal ketika menerima radiasi untuk limfoma
otak. Situasi ini telah meningkat secara pesat: pertama, insidensi PCNSL telah
menurun secara dramatis dengan adanya HAART; dan kedua, pasien AIDS yang
diterapi dengan HAART bersamaan dan kemoterapi untuk NHL lebih mudah memberikan
respons kepada kemoterapi karena HAART menginduksi reduksi dari viral load HIV.
Pada
analisis retrospektif multisentris, pasien dengan PCNSL dan AIDS menunjukkan hal
terapi yang baik ketika diterapi dengan radiasi kranial dan HAART (median
harapan hidup, 1093 hari). Angka harapan hidup keseluruhan adalah 132 hari
setelah radiasi kranial saja dan 33 hari tanpa adanya terapi spesifik. Pasien AIDS-PCNSL tertentu mungkin merupakan
kandidat untuk kemo atau kemo/radioterapi agresif jika : (1) status performa
mereka memiliki KPI lebih dari 50; (2) hitung sel CD4+ diatas 200/ml; (3)
komorbiditas AIDS terbatas dan bukan neurologik. Untuk penyakit yang berat,
kenyamanan dan perhatian hanya merupakan satu-satunya opsi terapi. Pasien non AIDS PTLD cenderung mempunyai PCNSL
yang diinduksi oleh EBV(Epstein-Barr Virus) dan menunjukkan peningkatan jumlah
EBV pada CSF. Biasanya yang dapat didemonstrasikan adalah reaktivasi dari EBV
laten atau serokonversi yang baru didapat. PCNSL yang muncul tidak dapat
dibedakan dengan mudah dengan EBV atau komplikasi infeksi dari transplantasi,
walaupun PCNSL mungkin disertai dengan invasi limfoma dari organ yang
ditransplantasi. Terapi ini berdasarkan pada reduksi atau diskontinuasi dari
imunosupresi karena steroid dosis rendah yang digunakan bersama dengan
kemoterapi.
Limfoma intraokuler
Sekitar
10-20% pasien PCNSL menujukkan adanya keterlibatan okuler pada presentasi
klinis atau selama pengobatan dari penyakit: uveitis limfomatossa, infiltrasi
saraf optik dan/atau. Vitreus. Keterlibatan intraokuler mungkin muncul sebagai
situs relaps yang terisolasi setelah terapi PCNSL yang sukses atau sebagai
kombinasi dengan relaps SSP. Terapi dengan kemoterapi berbasis MTX dosis
tinggi, dengan ifosfamida atau dengan trofosfamida oral lebih efisien dan
sering menghasilkan CR atau PR. Radiasi bagian 2/3 posterior bilik mata dengan
30-45 Gy juga diberikan secara berselang; akan tetapi, hal ini sering
dipersulit dengan kemunculan katarak dan kontrol yang tidak pasti untuk
kerusakan nervus optikus dan keterlibatan otak karena tumor. MTX intraokuler
dengan dosis 400 mg sebanyak 0,1 ml ditanamkan kedalam viterous akan berhasil
kadar sitotoksis obat dan dapat menyebabkan pembersihan tumor okuler, tetapi
hal ini dipersulit dengan angka kejadian katarak 73%, 58% epiteliopati kornea,
42% makulopati dan komplikasi serius lainnya. Oleh karena itu, modalitas ini
dianggap sebagai sebuah eksperimen. Telah direkomendasikan untuk mengobati
keterlibatan okuler pada kemunculan PCNSL dengan kemoterapi berbasis MTX dosis
tinggi saja dan pada kasus dari relaps okuler terisolasi dengan oral
trofosfamida atau intravena ifosfamida. Radioterapi okuler harus disimpan pada
kasus-kasus refrakter. Telah dicatat bahwa pasien yang diterapi untuk limfoma
intraokuler dengan kemoterapi sistemik mengalami relaps SSP yang lebih jarang daripada
pasien yang diterapi dengan terapi lokal.
Terapi pada pasien refrakter dan pada
saat relaps
Terapi
optimal untuk tumor rekuren belum ditetapkan hingga saat ini, tetapi resistensi
obat jarang didokumentasikan dan hampir semua pasien merasakan manfaat dari
induksi ulang dengan agen kemoterapi. Pasien dengan limfoma berulang setelah respons
kemoterapi insial yang bertahan lama setidaknya 50% mencapai induksi ulang
komplit dengan MTX; hal ini menandakan bahwa bahwa limfoma otak mungkin tidak
muncul karena resistensi obat saja. Pada pasien dengan usia dibawah 65 tahun
dan layak untuk terapi mieloablatif, kemoterapi intensif diikuti dengan
penyelamatan oleh stem sel hematopoetik sangat direkomendasikan sebagai pilihan
analog terapi penyelamat dan kuratif yang potensial pada situasi dimana terjadi
relaps sistemik malignansi sel B NHL tingkat lanjut. Pada 39 pasien dengan
relaps (n=21) atau penyakit refrakter (n=17) dengan terapi lini-utama,
kemoterapi berbasis thiotepa/busulfane/siklofosfamida dosis tinggi diberikan
setelah dua siklus dari ara-C dan induksi etoposida. CR (PR) dicapai pada 15(5)
kasus dan median keseluruhan angka harapan hidup keseluruhan setelah inisiasi
dari terapi penyelaman adalah 18,3 bulan. Respons pasien untuk agen lainnya
terlihat pada 25-40% dari kasus dengan temozolomida saja atau dengan kombinasi
antibodi CD20 rituximab, dan topotecan 1,5 g/m2/hari, hari 1-5, setiap 4
minggu. Setelah kegagalan utama atau sekunder terhadap MTX dosis tinggi di 27
pasien, WBRT dengan dosis median 36 Gy dan dorongan fakultatif ke daerah
inisial tumor telah menghasilkan 37% remisi komplit yang bertahan lama (durasi
median 57,6 bulan) dan 37% remisi parsial bertahan cepat (median durasi 9,7
bulan). Dosis total lebih dari 36 Gy, fraksi tunggal lebih dari 1,5 Gy dan usia
lebih dari 60 tahun merupakan prediktor neurotoksisitas terkait terapi saat
dilakukan follow up. Temuan ini telah
dikonfirmasi pada analisis retrospektif pada sebuah pusat kesehatan, yang menunjukkan
angka kejadian CR (tingkat PR) sebesar 58% (21%) pada 48 pasien yang diterapi
dengan dosis median sebesar 40 Gy WBRT ketika relaps (n=24) atau ketika terjadi
progresi (n=24); kontrol penyakit jangka panjang terlihat pada 31% pasien.
Follow
up
MRI
setelah terapi yang berhasil dari PCNSL menunjukkan lesi kecil yang membesar
pada daerah dari tumor awal atau daerah dimana terjadi manipulasi bedah. Lesi
ini tidak menunjukkan tumor aktif dan diklasifikasikan sebagai respons komplit/tidak
terkonfirmasi. MRI follow up pada
kasus-kasus ini menunjukkan adanya penurunan dalam ukuran atau pada bentuk dari
lesi ini. Masih diteliti apakah skrining PET dapat membantu membedakan lesi ini
dari tumor aktif atau jika metode tersebut dapat membantu dalam mendeteksi
relaps sejak awal. MRI otak dan pemeriksaan neurologik dilakukan setiap 3 bulan
selama 2 tahun setelah terapi dan setiap 6 bulan selama 3 tahun berikutnya.
Pemeriksaan CSF, pemeriksaan oftalmologi dan pemeriksaan-pemeriksaan lainnya
dilakukan hanya jika terdapat gejala klinis.
Pemeriksaan neurofisiologi serial disarankan karena neurotoksisitas
lanjut tetap menjadi komplikasi terapi utama.
Rekomendasi terapi
Sayangnya,
kemajuan berarti untuk terapi PCNSL belum diterjemahkan ke dalam praktik klinis.
Analisis terakhir dari data angka harapan hidup PCNSL yang berbasis populasi di
Amerika telah menunjukkan tidak adanya perbedaan data pada angka angka harapan
hidup keseluruhan pada akhir tahun 90-an dengan dibandingan dengan awal tahun 70-an.
Oleh karena itu hal-hal ini direkomendasikan:
·
Jika layak, pasien
harus diikutkan pada percobaan klinis.
·
Peranan
bedah sangat terbatas pada biopsi stereotaktik untuk diagnosis histopatologi.
·
Pada
pasien berusia dibawah 60 tahun, penyembuhan yang diutamakan. MTX dosis tinggi
berbasis polikemoterapi dengan penangguhan radiasi
atau selingan kemoterapi dosis tinggi dengan penyelamat sel punca otolog diberikan pada pasien yang layak untuk regimen
ini.
·
Untuk
pasien diatas 60 tahun, belum ada regimen
kuratif dengan toksisitas yang diterima yang telah dipublikasikan. Kemoterapi
berbasis MTX; sebagai contoh, dengan kombinasi dengan temozolomida
direkomendasikan.
·
Kombinasi
radioterapi dengan kemoterapi berbasis MTX berpotensi menyebabkan sekuel neurotoksik berat jangka panjang. Oleh
karena itu, radioterapi tidak direkomendasikan untuk diberikan pada terapi awal penyakit selain
untuk percobaan klnik.
·
Pada
saat relaps setelah respons jangka
panjang, induksi ulang kemoterapi berbasis MTX, yang efektivitasnya sama dengan terapi saat pertama didiagnosis, direkomendasikan sebagai terapi penyelamat
pada pasien usia lanjut. Temozolomida atau topotekan dapat diberikan pada
kasus-kasus dengan respons jangka
pendek pada terapi saat pertama didiagnosis
atau pada kasus kegagalan langsung terhadap MTX. Radiasi mungkin baik untuk
pasien yang tidak memberikan respons pada
regimen kemoterapi. Pada pasien yang berusia kurang dari 60 tahun, direkomendasikan untuk menggunakan kemoterapi intensif dengan
transplantasi sel punca otolog.
Contact Us for further translation Details.
No comments:
Post a Comment